Bi Ghairi Hisaab

H. Hasan Basri Tanjung, MA.
(Ketua Yayasan Dinamika Umat/Dosen Unida Bogor)
*****
“ …. dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau beri rezki kepada siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas).”(QS.3:27)

Mukaddimah
Bismillahirrahmanirrahim. Salah satu karunia Allah yang paling berharga adalah waktu. Waktu itu memang unik. Ia datang sesuai masanya dan tidak pernah berhenti. Jika ia lewat tak akan pernah kembali. Awal dan akhir segala sesuatu selalu berdasar waktu. Semua ibadah berkaitan dengan waktu, bahkan sah tidaknya tergantung waktu. Begitu pentingnya, Allah SWT. berulangkali bersumpah atas nama waktu. Pada setiap pergantian waktu, kita dituntut untuk ingat kembali kepada-Nya. Tahun Hijriyah 1436 sudah berjalan dan Bulan kelahiran Nabi SAW yakni Rabiul Awal pun tiba. Tahun Miladiyah segera berganti ke Tahun Baru 2015. Sepatutnya, disetiap pergantian waktu ada refleksi dan introsfeksi diri. Seberapakah amal saleh dan amal buruk yang dilakukan ? Sebab, semua itu akan dihitung dan dibalas di Hari Perhitungan (Yaumul Hisaab). Semoga tulisan ini mengingatkan kita agar menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain. Amiin.

Masuk Surga Tanpa Hisab
Ketika kita melakukan perjalanan dan melewati tempat pemeriksaan, mulai dari yang sederhana hingga yang besar (antar negara), lalu tidak dilakukan pemeriksaan, bahkan disambut dengan kehormatan, sungguh sebuah penghargaan luar biasa. Biasanya, hal ini hanya berlaku untuk orang-orang yang sangat penting (VVIP), yakni kepala negara, pemerintahan atau tamu negara. Mengapa mendapat privillage (keistimewaan) itu ? Mereka dipandang layak menerimanya atas kedudukan, prestasi dan karyanya.

Gambaran di atas juga berlaku di Hari Akhir kelak. Sebelum memasuki tempat abadi, semua manusia yang sudah melalui perjalanan hidup di dunia akan melalui pintu pemeriksaan dokumen perjalanan (catatan amal). Apakah dokumennya lengkap dan sempurna atau tidak (angka merah), sehingga patut masuk ke surga atau ke neraka dengan segala konsekwensinya (QS.75:13-15,22-25,88:2-10). Selain itu, ada rombongan khusus dengan gagah dan wajah berseri. Mereka tidak diperiksa dokumennya bahkan sudah dinanti kedatangannya yakni orang-orang yang berjasa dalam menegakkan agama dengan jiwa, raga, harta dan kehormatanya di masa awal kenabian (as-saabiqunal awwalun) dan orang yang sesudahnya dalam keridhaan Ilahi (QS.9:100).

Rasulullah SAW pernah menyebutkan 10 nama shahabat yang masuk surga tanpa hisab. Mereka antara lain Abu Bakar ra, Umar ibnu Khattab ra, Utsman bin Affan ra, Ali bin Abi Thalib ra, Zubair bin Awwam ra, Thalhah ra, Saad bin Abi Waqas. (HR. At-Turmudzi). Dalam riwayat lain, Nabi SAW. menyebut jumlahnya. “layadkhulanna min ummatii sab’uuna alfan aw sab’umiati alfin laa yadkhulu awwaluhum hatta yadkhula aakhiruhum, wujuhuhum ‘ala shurotil qomari lailatal badri”. Artinya : tujuh puluh ribu atau tujuh ratus ribu dari ummatuku akan masuk surga dengan tidak dihisab, mereka masuk berturut-turut, sedang rupa mereka seperti cahaya bulan purnama. (HR. Bukhari). Dalam Al-Qur’anil Karim, paling tidak ditemukan kata bi ghairi hisaab (tanpa perhitungan) dalam tiga ayat yang maknanya sama meski konteksnya berbeda, yakni rezki tanpa batas diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya (QS.3:27), hidangan dari Allah untuk Siti Maryam ibunda Nabi Isa al-Masih (QS.3:37), dan rezki yang tak terhingga bagi penghuni surga kelak (QS.40:40).

Dialog Sufistik di Depan Surga
Seorang ulama dan penulis besar, alm. KH. Abdurrahman Arrosi dalam buku kecil 30 Kisah Teladan (jilid 5), terinspirasi oleh Hadits Rasulullah SAW tentang mereka yang masuk surga tanpa hisab. Syahdan, kelak di pintu surga ada empat manusia yang hendak masuk surga lebih dahulu. Mereka adalah Pahlawan yang syahid, Hartawan yang dermawan, Haji mabrur dan Alim yang shaleh. Malaikat Jibril turun tangan membantu Malaikat Ridwan untuk mengatasinya.

Orang pertama dipanggil kedepan lalu ditanya : “Dengan sebab apa engkau pantas masuk surga tanpa dihisab” ? “Saya seorang pahlawan yang mati syahid di medan perang karena membela agama”. Jibril bertanya lagi : “Darimana kau tahu bahwa pahlawan yang mati syahid bakal masuk surga tanpa dihisab” ? Ia menjawab : “Dari orang alim”. “Kalau begitu, jagalah akhlak yang baik. Biarkan orang alim masuk surga lebih dahulu”, kata Jibril. Ia pun menyadari ketidaksopanannya.

Orang kedua dipanggil dan ditanya : “Siapa engkau, dan apa amal baikmu di dunia sehingga merasa pantas masuk surga lebih dulu” ? “Saya haji mabrur. Sesuai janji Rasulullah, bahwa balasannya adalah surga”. “Darimana kau tahu bahwa Rasulullah berjanji seperti itu”? “Dari guru saya, orang alim”, sahut si Haji Mabrur. “Mengapa engkau tidak menjaga adab dengan membiarkan orang alim yang masuk surga dulu” ? ujar Jibril. Ia pun sadar atas kelancangannya. Selanjutnya, orang ketiga pun ditanya hal serupa. “Saya adalah orang kaya yang dermawan. Kekayaan saya dapat dari jalan yang halal lalu diinfakkan di jalan Allah”. Jawab si Hartawan. “Dari man kau tahu bahwa itu layak dapat ganjaran surga”. Tanya Jibril. “Dari orang alim, guru saya”. “Lalu, kenapa orang alim yang mengajarimu kebaikan tidak kau biarkan masuk duluan sebagai tanda terima kasihmu” ? Ia pun mempersilahkan orang alim itu masuk duluan.

Namun, orang alim (ulama) yang saleh itu berkata : “Maaf tuan-tuan. Saya tidak akan dapat belajar dan mengajar dengan tenang apabila tidak ada pahlawan yang rela mati syahid. Saya tidak akan mendapat pahala terus menerus, jika murid saya yang haji tidak mengamalkan ilmu saya dengan benar. Kami tidak akan dapat keleluasaan mengajar, berjuang, beramal jika tidak ada orang kaya dermawan. Dia yang membangun madrasah, menyantuni anak yatim dan dhuafa, membangun masjid dan lainnya. Oleh karena itu, biarlah orang kaya yang masuk surga duluan, disusul pahlawan, haji mabrur dan saya belakangan”. Akhirnya Jibril memutuskan dan menerima usulan orang alim itu.

Khatimah
Dialog sufistik itu memberi banyak pelajaran. Pertama, orang-orang baik dan penting itu diukur dari ketaatan dan kemanfaatannya bagi orang lain. Keempat orang itu adalah orang-orang hebat yang berbuat untuk umat, bukan untuk dirinya sendiri. Pejuang itu banyak, tapi yang syahid sedikit. Orang haji itu banyak, tapi yang mabrur sedikit. Orang kaya banyak, tapi yang dermawan sedikit. Orang berlimu banyak, tapi yang saleh sedikit. Kedua, rasa egois (anaiyah) bisa menerpa siapa saja. Merasa paling patut dihargai, dihormati dan paling benar. Penilaian subjektif itu pertanda dangkalnya ilmu sebagai cahaya yang menyinari, sehingga sempit dan kerdil dalam melihat realitas kehidupan. Ketiga, Alim Ulama adalah pewaris para Nabi yang sepatutnya membimbing, menyejukkan dan menyatukan umat. Ulama adalah orang mulia dan dimuliakan, tapi sikapnya memuliakan orang lain jauh lebih mulia. Allahu a’lam bish-shawab.

Leave a Reply